Umat Islam di Indonesia diminta untuk mampu mencontoh Muslim Cina dengan segala kearifan tradisi, filsafat, dan sejumlah etos kehidupannya. Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin, umat Islam juga mestinya mampu memanfaatkan era kebangkitan Cina saat ini.
Menurut Din, selain mampu menghasilkan cadangan devisa, mereka pun memiliki penyebaran perantau yang sangat besar di dunia. "Kebangkitan Cina ini harus bisa dijadikan,pe-luang bagi Muslim di Indonesia. Hubungan sosial diperkuat, terutama dalam bidang agama," katanya di Jakarta, Kamis (4/3).
Din, yang berbicara saat acara kunjungan, delegasi China Islamic Association (CIA) ke kantor PP Muhammadiyah, mengatakan, upaya itu sama sekali tak sulit dilakukan. Sebab, secara historis, sejarah Islam antara Cina dan Indonesia sangat dekat. Sejak masa ketenaran Jalur Sutra, warga Cina dan Indonesia telah membentuk hubungan yang erat.
Sebut saja, kata Din, Laksamana Ceng Ho yang menjadi panutan Muslim Cina sedunia. Tak hanya itu, ajaran Islam sejak dulu sudah menjadikan negara ini sebagai referensi tempat belajar para Muslim. Dalam sebuah hadjs, dinyatakan bahwa tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina. "Banyak kebaikan yang bisa dicontoh dari Cina," ujarnya.
Terutama, kata Din, dalam etos kerja mereka. Mereka memiliki kedisiplinan yang sangat tinggi. Hal ini sangat mungkin dilakukan oleh umat Islam. "Pada kenyataannya, Islam pun mengajarkan hal yang sama. Bahkan, malah lebih tinggi lagi. Sayang, banyak umat Islam tak mampu menerjemahkan ajaran itu secara progresif dalam kehidupannya."
Din mengungkapkan, Muhammadiyah berencana mempererat hubungan dengan Muslim Cina dalam bidang pendidikan. Muhammadiyah akan mempertimbangkan adanya pelajaran bahasa Mandarin di semua lembaga pendidikan yang dikelola oleh Muhammadiyah. "Kami juga akan menggiatkan pengiriman kader Muhammadiyah ke Cina untuk belajar."
Wakil Presiden CIA, Mustafa Yang Zhibo, mengatakan, pihaknya berencana menyelenggarakan China Indonesia Islamic Cultural Expo and Art Show. Kegiatan ini juga bertepatan dengan peringatan 60 tahun hubungan diplomatik Cina dan Indonesia. "Pameran ini bertujuan untuk mempererat hubungan antara Muslim Cina dan Indonesia," katanya.
Mustafa berharap, pameran ini dapat menumbuhkan rasa persaudaraan yang erat antara Muslim Cina dan Indonesia. "Tak hanya karena sama-sama terikat dalam keindahan Islam, namun juga dinaungi oleh hubungan bilateral yang sangat baik sejak dulu," katanya. Kemungkinan, pameran digelar sebelum atau sesudah Ramadhan tahun ini.
Mustafa mengatakan, dalam pameran itu, akan dipublikasikan sejarah Islam di Cina pada masa lalu dan kondisi Muslim Cina saat ini. Menurut dia, akan ada banyak informasi yang ditampilkan, baik dalam bentuk tulisan maupun foto. Alquran tertua, kaligrafi, serta barang-barang budaya Cina juga akan dipamerkan.
Menurut Mustafa, pihaknya bekerja sama dengan Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia. "Kami juga menginginkan dukungan dari organisasi Islam besar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah," katanya. Menurutnya, Muhammadiyah dinilai cukup terdepan dalam bidang pendidikan dan sosial di Indonesia.

   Etika dan integritas merupakan suatu keinginan yang murni dalam membantu orang lain. Kejujuran yang ekstrim, kemampuan untuk mengenalisis batas-batas kompetisi seseorang, kemampuan untuk mengakui kesalahan dan belajar dari kegagalan. Kompetisi inilah yang harus memanas belakangan ini. Kata itu mengisyaratkan sebuah konsep bahwa mereka yang berhasil adalah yang mahir menghancurkan musuh-musuhnya. Banyak yang mengatakan kompetisi lambang ketamakan. Padahal, perdagangan dunia yang lebih bebas dimasa mendatang justru mempromosikan kompetisi yang juga lebih bebas. Lewat ilmu kompetisi kita dapat merenungkan, membayangkan eksportir kita yang ditantang untuk terjun ke arena baru yaitu pasar bebas dimasa mendatang. Kemampuan berkompetisi seharusnya sama sekali tidak ditentukan oleh ukuran besar kecilnya sebuah perusahaan. Inilah yang sering dikonsepkan berbeda oleh penguasa kita. Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain yaitu pengendalian diri, pengembangan tanggung jawab sosial, mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep pembangunan tanggung jawab sosial, mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan, menghindari sikap 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi) mampu mengatakan yang benar itu benar, dll.
Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis, serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu dapat dikurangi, serta kita optimis salah satu kendala dalam menghadapi era globalisasi pada tahun 2000 an dapat diatasi.
   Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan
bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi. Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Mengapa ?
Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun
bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.

Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah :
1. Pengendalian diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etis".

2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.

3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.

4. Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan
spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.

5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.

6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.

7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.

8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.

9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.

10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.

11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini. Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu akan dapat diatasi, serta optimis.

Saat ini, mungkin ada sebagian masyarakat yang belum mengenali apa itu etika dalam berbisnis. Bisa jadi masyarakat beranggapan bahwa berbisnis tidak perlu menggunakan etika, karena urusan etika hanya berlaku di masyarakat yang memiliki kultur budaya yang kuat. Ataupun etika hanya menjadi wilayah pribadi seseorang. Tetapi pada kenyataannya etika tetap saja masih berlaku dan banyak diterapkan di masyarakat itu sendiri. Bagaimana dengan di lingkungan perusahaan? Perusahaan juga sebuah organisasi yang memiliki struktur yang cukup jelas dalam pengelolaannya. Ada banyak interaksi antar pribadi maupun institusi yang terlibat di dalamnya. Dengan begitu kecenderungan untuk terjadinya konflik dan terbukanya penyelewengan sangat mungkin terjadi. Baik dalam tataran manajemen ataupun personal dalam setiap team maupun hubungan perusahaan dengan lingkungan sekitar. Untuk itu etika ternyata diperlukan sebagai kontrol akan kebijakan, demi kepentingan perusahaan itu sendiri.
Namun apakah etika itu sendiri dapat teraplikasi dan dirasakan oleh pihak-pihak yang wajib mendapatkannya? Pada prakteknya banyak perusahaan yang mengesampingkan etika demi tercapainya keuntungan yang berlipat ganda. Lebih mengedepankan kepentingan-kepentingan tertentu, sehingga menggeser prioritas perusahaan dalam membangun kepedulian di masyarakat. Kecenderungan itu memunculkan manipulasi dan penyelewengan untuk lebih mengarah pada tercapainya kepentingan perusahaan. Praktek penyimpangan ini terjadi tidak hanya di perusahaan di Indonesia, namun terjadi pula kasus-kasus penting di luar negeri.
Contoh kasus:
di dalam negeri, kita diingatkan oleh Freeport dengan perusakan lingkungan. Masyarakat dengan mata kepala sendiri menyaksikan tanah airnya dikeruk habis. Sehingga dampak dari hadirnya Freeport mendekatkan masyarakat dari keterbelakangan. Kalaupun masyarakat menerima ganti rugi, itu hanyalah peredam sesaat, karena yang terjadi justru masyarakat tidak banyak belajar dari usahanya sendiri. Masyarakat terlena dengan ganti rugi tiap tahunnya, padahal dampak jangka panjangnya sungguh luar biasa. Masyarakat akan semakin terpuruk dari segi mental dan kebudayaannya akan terkikis. Juga dalam beberapa tahun ini, tentunya kita masih disegarkan oleh kasus lumpur Lapindo. Kita tahu berapa hektar tanah yang terendam lumpur, sehingga membuat masyarakat harus meninggalkan rumahnya. Mungkin bisa jadi ada unsur kesengajaan di dalamnya. Demi peningkatan profit yang tinggi, ada hal yang perlu dikorbankan, tentunya tidak lain masyarakat itu sendiri. Kita juga masih ingat akan kasus Teluk Buyat yang menyebabkan tercemarnya lingkungan tersebut. Yang cukup menghebohkan mungkin kasus Marsinah, seorang buruh yang memperjuangkan hak-haknya, tetapi mengalami peristiwa tragis yang membuat nyawanya melayang.
Semua itu terjadi karena tidak diterapkannya etika dalam berbisnis. Di dalam etika itu sendiri terkandung penghargaan, penghormatan, tanggungjawab moral dan sosial terhadap manusia dan alam. Kalau kita melihat lebih jauh tentunya ada dua kepentingan, baik dari perusahaan dan masyarakat yang perlu diselaraskan. Di dalamnya terkandung juga hak dan kewajiban yang harus terpenuhi. Coba mari kita renungkan bersama, bukankah tidak diterapkannya etika dalam berbisnis justru akan menjadi bumerang bagi perusahaan tersebut? Mungkin akan banyak biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan kasus serta citra perusahaan di masyarakat luas semakin miring. Hal ini justru akan sangat merugikan perusahaan itu sendiri.
Belum lagi kasus yang terjadi di luar negeri. Sebagai contoh adalah kasus asuransi Prudential di Amerika. Belum lagi skandal Enron ,Tycon, Worldcom dsb. Banyaknya kasus yang terjadi membuat masyarakat berpikir dan mulai menerapkan etika dalam berbisnis. Apalagi sekarang masyarakat mulai membicarakan CSR (Corporate Social Responsibility). Apa itu? Dalam artikel yang ditulis oleh Chairil Siregar disebutkan CSR merupakan program yang harus dilaksanakan oleh perusahaan sesuai dengan undang-undang pasal 74 Perseroan Terbatas. Tentunya dengan adanya undang-undang ini, industri maupun korporasi wajib melaksanakannya, tetapi kewajiban ini bukan merupakan beban yang memberatkan. Salah satu contoh yaitu komitmen Goodyear dalam membangun masyarakat madani, ekonomi, pendidikan, kesehatan jasmani, juga kesehatan sosial. Kepedulian ini sebagai wujud nyata peran serta perusahaan di tengah masyarakat. Perlu diingat pembangunan suatu negara bukan hanya tanggungjawab pemerintah dan industri saja tetapi setiap insan manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan kualitas hidup masyarakat.
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=14239

I. Contoh penerapan moral bisnis dalam perusahaan:


UKM (usaha kecil menengah) merupakan unit terkecil dari sektor ekonomi yang sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi di indonesia. Peran aktif UKM sangat dibutuhkan masyarakat dan perekonomi indonesia menghadapi era globalisasi karena UKM telah banyak memproduksi sektor kebutuhan pokok rakyat banyak dan penyedia lapangan pekerjaan bagi rakyat indonesia.
Namun ada beberapa faktor yang mengahambat UKM dalam rangka mengembangkan usahanya antara lain kurangnya pengalaman pengusaha UKM, minimnya pendidikan yang dikuasai para pengusaha UKM dan ketidakuletan dalam berorientasi kerja oleh sebab itu dibutuhkan suatu konsep yang dapat membantu mengembangkan UKM (usaha kecil menengah) terutama pada kota malang yang merupakan tempat analisis perkembengan UKM.
Alasan memilih UKM yang ada di kota malang karena malang merupakan kota pelajar dimana semua etnis dapat di temui di kota malang ini dan tidak lain juga merupakan tempat pariwisata yang penuh dengan panorama gunung yang indah, ini yang menjadi faktor ketertarikan pengusaha kecil untuk berkecimpung dalam usahanya.
Dan adapun konsep yang dapat membantu menegembangkan UKM di kota malang yaitu dengan penelitian pengaruh nilai moral dan rasionalitas di sektor UKM yang mana nilai moral menitik beratkan pada perasaan semata (irasional) dalam mengelolah usaha tanpa memandang pengaruh perkembangan usahanya. Sedangakan nilai rasional berdasarkan pemikiran atas rancangan konsep-konsep yang telah dipertimbangkan dalam mengelolah usaha tanpa melihat nilai moral (persaan). Dari penelitian ini diharapkan untuk menegetahui sejauh mana pengaruh nilai moral dan rasional pada sektor UKM di kota malang (apakah dominan pada nilai moral atau sebaliknya), dan memberi dorangan motavasi serta pemahaman pentingnya penerapan nilai moral dan rasional sesuai keadaan yang dihadapi UKM di kota malang dalam mengembangkan usahanya di era globalisasi.
Pada Analisis UKM ini di fokuskan pada UKM yang bergerak di sektor usaha pengrajin tangan di daerah kota malang yang merupakan sumber kekayaan budaya dan devisa daerah kota malang.
Dari data survei sementara UKM di kota malang di sektor usaha pengrajin tangan bahwasanya UKM di kota malang masih banyak menggunakan nilai moral sebagai landasan dalam mengembangkan usahanya dikarenakan kurangya pendidikan yang dikuasai dan ketidakuletan serta ketidakkonsistennan dalam sistem yang di pakai usahanya.
Salah satu pernyataan dari pengusaha pengrajin tangan di kota malang menyatakan bahwa dia pada awal usaha menngunakan nilai rasional meliputi perhitungan dan pembukuan perkembangan usahanya namun kerena kurannya kekonsistenaan dan ketelitian maka data perhitungan menjadi titik timbulnya masalah karena perhitungannya tidak valid (tidak sesuai dengan perhitungan perkembangan ushanya) sehingga dia lebih suka memilih nilai moral yang tidak banyak aturan.
II. Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:


1. Pengendalian diri
Artinya pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun.
contoh: Seorang pejabat negara/ anggota DPR seharusnya mampu mengendalikan diri agar tidak mudah tergoda untuk menyalahgunakan uang rakyat.


2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pelaku bisnis di sini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya bentuk “uang” dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi.
contoh: pihak perusahaan/ pabrik hendaknya memperhatikan dampak dari limbah yang dihasilkan, dan bertanggung jawab kepada lingkungan sekitarnya.
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi.
Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
contoh: Penggunaan tenaga mesin dan komputer oleh perusahaan, tidak lantas menjadikan perusahaan lupa akan SDM. Melainkan harus makin banyak memberdayakan tenaga ahli, untuk mengurangi terjadinya error.
4. Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah ke bawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya.
contoh: bersaing sehat, jangan hanya karena ingin maju perusahaan menjatuhkan saingan dengan cara kotor, sabotase, dan menipu konsumen.
5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan”
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan di masa mendatang.
III. Kebutuhan dasar yang harus dipenuhi dalam sebuah profesi, yaitu:
1. Kredibilitas adalah kualitas, kapabilitas, atau kekuatan untuk menimbulkan kepercayaan.
contohnya: agar seorang karyawan dapat dipercaya oleh pemimpin perusahaan harus menunjukkan kredibilitasnya baik di lingkungan kerja maupun sehari-harinya.
2. Profesionalisme adalah sifat-sifat (kemampuan, kemahiran, cara pelaksanaan sesuatu dan lain-lain) sebagaimana yang sewajarnya terdapat pada atau dilakukan oleh seorang profesional.
contohnya: Profesionalisme yang tinggi ditunjukkan oleh besarnya keinginan untuk selalu meningkatkan dan memelihara imej profesion melalui perwujudan perilaku profesional. Perwujudannya dilakukan melalui berbagai-bagai cara misalnya penampilan, cara percakapan, penggunaan bahasa, sikap tubuh badan, sikap hidup harian, hubungan dengan individu lainnya.
3. Kualitas Jasa maksudnya terdapat keyakinan bahwa semua jasa yang diperoleh dari akuntan diberikan dengan standar kinerja tertinggi.
Contohnya: KAP harus memiliki kualitas jasa yang tinggi agar mendapat respon yang baik di masyarakat.
4. Kepercayaan merupakan kunci untuk mempertahankan hubungan jangka panjang antara organisasi dengan konsumen.
Referensi : Modul Kuliah Etika Profesi Akuntansi oleh Beni Susanti, Gundarma (2008)

Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (selanjutnya dalam artikel akan disingkat CSR) adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya) perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan.
CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", di mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.
Sejarah singkat
Pengertian CSR sangat beragam. Intinya, CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, tetapi untuk pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga, dan berkelanjutan. Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan dan bahkan sering diidentikkan dengan CSR adalah corporate giving, corporate philanthropy, corporate community relations, dan community development.
Ditinjau dari motivasinya, keempat nama itu bisa dimaknai sebagai dimensi atau pendekatan CSR. Jika corporate giving bermotif amal atau charity, corporate philanthropy bermotif kemanusiaan dan corporate community relations bernapaskan tebar pesona, community development lebih bernuansa pemberdayaan. Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998) karya John Elkington.
Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environmental protection, dan social equity yang digagas the World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P (profit, planet, dan people). Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit), tetapi memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).
Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (corporate social activity) atau aktivitas sosial perusahaan. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan.
Melalui konsep investasi sosial perusahaan seat belt, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional. Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwasannya kegiatan perusahaan membawa dampak (baik maupun buruk) bagi kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi.
Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya shareholders atau para pemegang saham, melainkan pula stakeholders, yakni pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa, dan pemerintah selaku regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu perusahaan dan lainnya, bergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan (Supomo, 2004).
Sebagai contoh, PT Aneka Tambang, Tbk. dan Rio Tinto menempatkan masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai stakeholders dalam skala prioritasnya. Sementara itu, stakeholders dalam skala prioritas bagi produk konsumen seperti Unilever atau Procter & Gamble adalah para customer-nya.
Bias-bias CSR
Berdasarkan pengamatan terhadap praktik CSR selama ini, tidak semua perusahaan mampu menjalankan CSR sesuai filosofi dan konsep CSR yang sejati. Tidak sedikit perusahaan yang terjebak oleh bias-bias CSR berikut ini.
Pertama, kamuflase. CSR yang dilakukan perusahaan tidak didasari oleh komitmen genuine, tetapi hanya untuk menutupi praktik bisnis yang memunculkan ethical questions. Bagi perusahaan seperti ini, CD bukan kepanjangan dari community development, melainkan “celana dalam” yang berfungsi menutupi “aurat” perusahaan. McDonald`s Corporation di AS dan pabrik sepatu Nike di Asia dan Afrika pernah tersandung kasus yang berkaitan dengan unnecessary cruelty to animals dan mempekerjakan anak di bawah umur.
Kedua, generik. Program CSR terlalu umum dan kurang fokus karena dikembangkan berdasarkan template atau program CSR yang telah dilakukan pihak lain. Perusahaan yang impulsif dan pelit biasanya malas melakukan inovasi dan cenderung melakukan copy-paste (kadang dengan sedikit modifikasi) terhadap model CSR yang dianggap mudah dan menguntungkan perusahaan.
Ketiga, directive. Kebijakan dan program CSR dirumuskan secara top-down dan hanya berdasarkan misi dan kepentingan perusahaan (shareholders) semata. Program CSR tidak partisipatif sesuai prinsip stakeholders engagement yang benar.
Keempat, lip service. CSR tidak menjadi bagian dari strategi dan kebijakan perusahaan. Biasanya, program CSR tidak didahului oleh needs assessment dan hanya diberikan berdasarkan belas kasihan (karitatif). Laporan tahunan CSR yang dibuat Enron dan British American Tobacco (BAT), misalnya, pernah menjadi sasaran kritik sebagai hanya lip service belaka.
Kelima, kiss and run. Program CSR bersifat ad hoc dan tidak berkelanjutan. Masyarakat diberi “ciuman” berupa barang, pelayanan atau pelatihan, lantas ditinggalkan begitu saja. Program yang dikembangkan umumnya bersifat myopic, berjangka pendek, dan tidak memerhatikan makna pemberdayaan dan investasi sosial. CSR sekadar “menanam jagung”, bukan “menanam jati”.
CSR yang baik
CSR yang baik (good CSR) memadukan empat prinsip good corporate governance, yakni fairness, transparency, accountability, dan responsibility, secara harmonis. Ada perbedaan mendasar di antara keempat prinsip tersebut (Supomo, 2004). Tiga prinsip pertama cenderung bersifat shareholders-driven karena lebih memerhatikan kepentingan pemegang saham perusahaan. Sebagai contoh, fairness bisa berupa perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas; transparency menunjuk pada penyajian laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu; sedangkan accountability diwujudkan dalam bentuk fungsi dan kewenangan RUPS, komisaris, dan direksi yang harus dipertanggung jawabkan.
Sementara itu, prinsip responsibility lebih mencerminkan stakeholders-driven karena lebih mengutamakan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders perusahaan bisa mencakup karyawan beserta keluarganya, pelanggan, pemasok, komunitas setempat, dan masyarakat luas, termasuk pemerintah selaku regulator. Di sini, perusahaan bukan saja dituntut mampu menciptakan nilai tambah (value added) produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan, melainkan pula harus sanggup memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya itu (Supomo, 2004). Namun demikian, prinsip good corporate governance jangan diartikan secara sempit. Artinya, tidak sekadar mengedepankan kredo beneficience (do good principle), melainkan pula nonmaleficience (do no-harm principle) (Nugroho, 2006). Perusahaan yang hanya mengedepankan benificience cenderung merasa telah melakukan CSR dengan baik. Misalnya, karena telah memberikan beasiswa atau sunatan massal gratis. Padahal, tanpa sadar dan pada saat yang sama, perusahaan tersebut telah membuat masyarakat semakin bodoh dan berperilaku konsumtif, umpamanya, dengan iklan dan produknya yang melanggar nonmaleficience.


TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

Tanggung jawab sosial perusahaan sangat erat kaitannya dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:
• Apakah memang perusahaan punya tanggung jawab moral dan sosial ?
• Kalau ada, manakah lingkup tanggung jawab itu ?
• Apakah, terkait dengan tanggung jawab sosial perusahaan itu, perusahaan perlu terlibat dalam kegiatan sosial yang berguna bagi masyarakat atau tidak ?
• Bagaimana tanggung jawab sosial perusahaan itu dapat dioperasionalkan dalam suatu perusahaan ?
1. Syarat bagi Tanggung Jawab Moral
• Tindakan itu dijalankan oleh pribadi yang rasional
• Bebas dari tekanan, ancaman, paksaan atau apapun namanya
• Orang yang melakukan tindakan tertentu memang mau melakukan tindakan itu
2. Status Perusahaan
Terdapat dua pandangan (Richard T. De George, Business Ethics, hlm.153), yaitu:
• Legal-creator, perusahaan sepenuhnya ciptaan hukum, karena itu ada hanya berdasarkan hukum
• Legal-recognition, suatu usaha bebas dan produktif
3. Lingkup Tanggung jawab Sosial
• Keterlibatan perusahaan dalam kegiatan sosial yang berguna bagi kepentingan masyarakat luas
• Keuntungan ekonomis
4. Argumen yang Menentang Perlunya Keterlibatan Sosial Perusahaan
• Tujuan utama Bisnis adalah Mengejar Keuntungan Sebesar-besarnya
• Tujuan yang terbagi-bagi dan Harapan yang membingungkan
• Biaya Keterlibatan Sosial
• Kurangnya Tenaga Terampil di Bidang Kegiatan Sosial
5. Argumen yang Mendukung Perlunya Keterlibatan Sosial Perusahaan
• Kebutuhan dan Harapan Masyarakat yang Semakin Berubah
• Terbatasnya Sumber Daya Alam
• Lingkungan Sosial yang Lebih Baik
• Perimbangan Tanggung Jawab dan Kekuasaan
• Bisnis Mempunyai Sumber Daya yang Berguna
• Keuntungan Jangka Panjang
6. Implementasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
• Prinsip utama dalam suatu organisasi profesional, termasuk perusahaan, adalah bahwa struktur mengikuti strategi
• Artinya, struktur suatu organisasi didasarkan ditentukan oleh strategi dari organisasi atau perusahaan itu
• Strategi yang diwujudkan melalui struktur organisasi demi mencapai tujuan dan misi perusahaan perlu dievaluasi secara periodik, salah satu bentuk evaluasi yang mencakup nilai-nilai dan tanggung jawab sosial perusahaan adalah Audit Sosial.


Referensi : 
http://id.wikipedia.org/wiki/Tanggung_jawab_sosial_perusahaan
http://www.tekmira.esdm.go.id/currentissues/?p=303

 PENGERTIAN ETIKA BISNIS

Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat.
Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan wilayah abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.
Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Jouurnal (1988), memberikan tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis, yaitu :
• Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensinya. Oleh karena itu, dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.
• Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
• Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.
Etika bisnis dalam perusahaan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh.
Biasanya dimulai dari perencanaan strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.
Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika bisnis akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang, karena :
• Mampu mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi, baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.
• Mampu meningkatkan motivasi pekerja.
• Melindungi prinsip kebebasan berniaga
• Mampu meningkatkan keunggulan bersaing.
Tidak bisa dipungkiri, tindakan yang tidak etis yang dilakukan oleh perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi dan lain sebagainya. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan.
Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika bisnis, pada umumnya termasuk perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yang tidak etis, misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier.
Perlu dipahami, karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan harus semaksimal mungkin harus mempertahankan karyawannya.
Untuk memudahkan penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari-hari maka nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus dituangkan kedalam manajemen korporasi yakni dengan cara :
• Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct)
• Memperkuat sistem pengawasan
• Menyelenggarakan pelatihan (training) untuk karyawan secara terus menerus.

Referensi : http://www.anneahira.com/artikel-umum/etika-bisnis.htm

Salah Satu Contoh Pelanggaran Etika Bisnis

Langgar hak paten, Ericsson Gugat Samsung
Jakarta, Raksasa perangkat jaringan mobile Ericsson melayangkan gugatan terhadap pembuat ponsel Samsung Electronics. Gugatan ini diajukan karena Samsung dituduh telah melanggar hak paten. "Kami sudah melayangkan gugatan hukum kepada Samsung terkait pelanggaran hak paten di Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Belanda," kata Ase Lindskog, juru bicara Ericsson.Menurut Lindskog, pihaknya telah melakukan negosiasi besar dengan Samsung terkait pembaharuan lisensi. "Kesepakatan mereka dengan kami telah berakhir sejak 31 Desember tahun lalu," ujarnya lagi.
Masalahnya, Samsung masih memakai paten ponsel yang tidak berlisensi lagi. Ketika dikonfirmasi, juru bicara Samsung di Seoul masih enggan mengomentari masalah ini. Entah iri atau ingin menjatuhkan rival, yang jelas kasus pelanggaran paten dan perlawanan legal lainnya sudah sering bahkan biasa terjadi di sektor teknologi. Bisa jadi karena perusahaan telah menghabiskan banyak dana untuk penelitian dan pengembangan (R&D). Selain Samsung, Ericsson juga pernah menggugat Qualcomm.
Tahun lalu Ericsson pernah mengadu ke Uni Eropa karena Qualcomm dituduh telah 'mencekik' kompetisi di pasar chip ponsel. Kembali ke gugatan terhadap Samsung. Lindskog mengatakan beberapa paten teknologi yang digugat Ericsson kepada Samsung adalah GSM (Global System for Mobile Communications), GPRS (General Packet Radio Service) dan EDGE (Enhanced Data rates for GSM Evolution). "Ini adalah tindakan yang patut disayangkan, tetapi kami harus melindungi para pemegang saham dan investor kami karena kami sudah menginvestasikan banyak dana di R&D selama bertahun-tahun," kata Lindskog. Demikian dilansir detikINET dari Reuters, Senin (27/02/2006). (dwn)

SAMPLE

SAMPLE

My studentsite

About this blog

My friends

Powered by Blogger.

Friends

Your Comments


ShoutMix chat widget