ANALISIS ARTIKEL


Artikel 1.

UU BHP (Tidak) Diperlukan

Di tengah meredupnya perhatian atas Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, kita dientak dengan praktik penerbitan 1.400 ijazah ilegal oleh sebuah program studi di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta (Kompas, 12/1/2009).

Sejauh ini, tidak ada pihak yang mengaitkan penerbitan ijazah ilegal itu dengan isu-isu dalam kontroversi UU BHP.

Namun, jika direnungkan, praktik penerbitan ijazah ilegal menegaskan pentingnya UU BHP sebagai instrumen hukum bagi jaminan standar mutu penyelenggaraan pendidikan.

Praktik penerbitan ijazah palsu menunjukkan, badan standardisasi mutu pendidikan maupun badan akreditasi program-program PT yang ada kini tak berfungsi efektif. Mekanisme pengawasan dan evaluasi periodik oleh badan-badan itu belum menjamin pengguna lulusan PT terlindungi dari praktik akal- akalan penyelenggaraan pendidikan.

Kasus ijazah ilegal ini mungkin puncak fenomena gunung es. Di Yogyakarta, setidaknya tiga PTS terindikasi melakukan praktik itu (Kompas, 13/1/2009). Koordinasi PTS wilayah Yogyakarta telah menghentikan izin penyelenggaraan sebuah program studi karena penerbitan ijazah ilegal (Kompas, 17/1/2009).

Akibat tidak efektifnya badan- badan standardisasi dan akreditasi, kita tidak pernah tahu praktik apa saja selain penerbitan ijazah dan oleh PT mana saja yang termasuk kategori ilegal dan berpotensi merugikan konsumen pendidikan, khususnya pengguna lulusan.

Perlindungan konsumen

Dalam konteks perlindungan konsumen, UU BHP diperlukan sebagai jaminan hukum demi penyelenggaraan pendidikan yang mutunya terstandar. UU BHP menekankan jaminan mutu terstandar melalui prinsip transparansi sebagai bagian akuntabilitas institusi penyelenggara pendidikan.

Masyarakat pengguna lulusan PT dapat ikut menilai layak atau tidaknya sebuah program. Selain itu, persaingan antarinstitusi menjadi terbuka dan diharapkan lebih sportif. Kecurigaan rektor sebuah PT di Jawa Timur atas ketidakadilan penentuan kriteria pemeringkatan PT yang dianggap menguntungkan sebuah PT di Banten tidak perlu terjadi.

Singkatnya, prinsip transparansi UU BHP memberi jaminan pendidikan dengan mutu terstandar dan menciptakan iklim persaingan terbuka.

Ada yang Lain

Meski demikian, tampaknya bukan karena prinsip transparansi itulah kebanyakan penyelenggara PT(S) tidak menolak kehadiran UU BHP.

Sejak UU BHP disetujui DPR, Perguruan Taman Siswa terang- terangan menolak, dibarengi sejumlah LSM dan kalangan mahasiswa. Forum Rektor juga ”mengkritisi” agar UU BHP tidak menajamkan dikotomi PTS-PTN. Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) nyaris tak terdengar sejak upaya judicial review Pasal 53 UU No 20 Tahun 2003 yang menjadi dasar pembentukan BHP ditolak Mahkamah Konstitusi dua tahun lalu.

Jika dicermati, UU BHP menciptakan peluang ekonomi yang menguntungkan penyelenggara PT, khususnya ketentuan bahwa maksimal 1/3 biaya operasional ditanggung masyarakat. Ketentuan ini menguntungkan sebab biaya kuliah yang selama ini ditanggung orangtua mahasiswa secara langsung (di luar pajak yang harus dibayar sebagai warga negara) rata-rata mungkin kurang dari 1/3.

Dalam wawancara dengan bendahara sebuah yayasan penyelenggara PT di Yogyakarta tahun 2002, diperoleh pengakuan, hanya 1/7 biaya operasional PT yang ditanggung orangtua mahasiswa. Selebihnya dibiayai sponsor melalui jaringan yayasan di dalam dan luar negeri.

Artinya, untuk PT yang relatif mapan dan memiliki jaringan kerja sama luas, UU BHP justru payung hukum yang ditunggu- tunggu. Selain membawa deregulasi tata kelola, UU BHP memungkinkan penyelenggara PT menaikkan beban biaya kuliah mahasiswa hingga maksimal 1/3 biaya operasional.

Masalahnya, berapa banyak PT di Indonesia relatif mapan dan memiliki jaringan kerja sama hingga siap menjadi BHP?

Pahit

UU BHP menghadirkan pilihan pahit karena realitas penyelenggara(an) pendidikan kita kini amat beragam. Ada dua solusi.

Pertama, memperpanjang masa transisi hingga tiap penyelenggara pendidikan siap menjadi BHP. Agar penyelenggara tidak berlama-lama menyiapkan diri, perlu ada stimulus berbeda (alih- alih sanksi) bagi lembaga yang telah dan belum menjadi BHP.

Kedua, menciptakan kanal sistem tata kelola pendidikan yang berbeda, BHP dan non-BHP. Artinya, menjadi BHP atau tidak adalah pilihan dengan peluang, tantangan, dan konsekuensi pengembangan masing-masing. Pemerintah hanya perlu mempertegas aturan main.

Pilihan kedua itu amat pahit sebab berpotensi menciptakan segregasi kelas sosial layanan pendidikan. Namun, status opsional BHP paling realistis dan inklusif terhadap fakta keberagaman mutu pendidikan kita. Konsep RUU BHP tahun 1953 juga mengajukan pilihan ini.

Artikel 2.
Liberalisasi Pendidikan Tinggi

Dalam bukunya, The Outliers, Malcolm Gladwell membeberkan kisah orang-orang sukses dan gagal. Beberapa di antaranya Bill Gates, Bill Joy (Sun Microsystem), dan Steve Job (Apple Computer).

Salah satu faktor pendukung keberhasilan seseorang adalah kesempatan. Banyak dari orang sukses (misalnya Bill Gates, Bill Joy, and Paul Allen) dalam The Outliers berasal dari kelas sosio ekonomi menengah dan atas sehingga bisa mengakses pendidikan bermutu.

Sebaliknya, saat kesempatan itu ditiadakan, seorang dengan IQ 195, Chris Langan (bandingkan: IQ Albert Einstein 150) harus putus kuliah karena ketiadaan biaya dan berakhir sebagai buruh tani dengan berbagai kepahitan. Di antara kedua titik ini, ada kisah Steve Jobs dari keluarga sederhana yang berhasil mengubah hidupnya dan dunia melalui perusahaan Apple Computer. Meski tidak berasal dari keluarga kaya, Steve Jobs hidup di Silicon Valley dan bergaul dengan para insinyur Hewlett Packard. Pesan dari kisah-kisah ini, kesempatan merupakan pintu awal menuju keberhasilan.

Salah satu fungsi pendidikan adalah memberi kesempatan itu untuk mengurangi jumlah orang yang berakhir seperti Chris Langan dan Steve Jobs. Jika The Outliers ditulis dalam versi Indonesia, pasti ada banyak kisah Chris Langan dan Steve Jobs ala Indonesia yang bisa menjadi latar belakang pembuatan kebijakan pendidikan atau keputusan negara maupun institusi. Kebijakan yang masih menuai kontroversi adalah UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Ketika sektor-sektor yang memenuhi kepentingan publik dan tidak diharapkan memberi keuntungan material, pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Pada era ini, ada pergeseran cara pandang dan praktik terhadap sektor-sektor itu.


EYD yang benar artikel 1:
- Di tengah meredupnya perhatian atas Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, kita dientak dengan praktik penerbitan 1.400 ijazah ilegal oleh sebuah program studi di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta (Kompas, 12/1/2009).

Di tengah meredupnya perhatian atas Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, kita dikagetkan dengan praktik penerbitan 1.400 ijazah ilegal oleh sebuah program studi di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta (Kompas, 12/1/2009).

-Namun, jika direnungkan, praktik penerbitan ijazah ilegal menegaskan pentingnya UU BHP sebagai instrumen hukum bagi jaminan standar mutu penyelenggaraan pendidikan.

Dan, jika direnungkan, praktik penerbitan ijazah ilegal menegaskan pentingnya UU BHP sebagai instrumen hukum bagi jaminan standar mutu penyelenggaraan pendidikan.

-Praktik penerbitan ijazah palsu menunjukkan, badan standardisasi mutu pendidikan maupun badan akreditasi program-program PT yang ada kini tak berfungsi efektif. Mekanisme pengawasan dan evaluasi periodik oleh badan-badan itu belum menjamin pengguna lulusan PT terlindungi dari praktik akal- akalan penyelenggaraan pendidikan.

Praktik penerbitan ijazah palsu menunjukkan badan standardisasi mutu pendidikan dan badan akreditasi program-program PT yang ada kini tidak berfungsi efektif. Mekanisme pengawasan dan evaluasi periodik oleh badan-badan itu belum menjamin pengguna lulusan PT terlindungi dari praktik akal- akalan penyelenggaraan pendidikan.

-Akibat tidak efektifnya badan- badan standardisasi dan akreditasi, kita tidak pernah tahu praktik apa saja selain penerbitan ijazah dan oleh PT mana saja yang termasuk kategori ilegal dan berpotensi merugikan konsumen pendidikan, khususnya pengguna lulusan.

Akibat tidak efektifnya badan- badan standardisasi dan akreditasi, kita tidak pernah tahu praktik apa saja selain penerbitan ijazah dan PT mana saja yang termasuk kategori ilegal,berpotensi merugikan konsumen pendidikan, khususnya pengguna lulusan.

Artikel 2:
Pada baris 4:
-Ketika sektor-sektor yang memenuhi kepentingan publik dan tidak diharapkan memberi keuntungan material, pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Pada era ini, ada pergeseran cara pandang dan praktik terhadap sektor-sektor itu.

Ketika sektor-sektor yang memenuhi kepentingan publik dan tidak diharapkan memberi keuntungan material, pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Pada zaman seperti sekarang ini ada pergeseran cara pandang dan praktik terhadap sektor-sektor itu.



1. Penalaran induktif adalah penalaran yang memberlakukan atribut-atribut khusus untuk hal-hal yang bersifat  umum

2. Ada tiga jenis penalaran induksi :

A. GENERALISASI

Penalaran generalisasi dimulai dengan peristiwa-peristiwa khusus untuk mengambil kesimpulan umum. Generalisasi adalah pernyataan yang berlaku umum untuk semua atau sebagian besar gejala yang diamati. Generalisasi mencakup ciri-ciri esensial, bukan rincian. Dalam pengembangan karangan, generalisasi dibuktikan dengan fakta, contoh, data statistik, dan lain-lain.

Contoh;

Pemakaian bahasa Indonesia di seluruh daerah di Indonesia dewasa ini belum dapat dikatak seragam. Perbedaan dalam struktur kalimat, lagu kalimat, ucapan terlihat dengan mudah. Pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan sering dikalahkan oleh bahasa daerah. Di lingkungan persuratkabaran, radio, dan TV pemakaian bahasa Indonesia belum lagi dapat dikatakan sudah terjaga baik. Para pemuka kita pun pada umumnya juga belum memperlihatkan penggunaan bahasa Indonesia yang terjaga baik. Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa pengajaran bahasa Indonesia perlu ditingkatkan.

B. ANALOGI

Analogi adalah membandingkan dua hal yang banyak persamaannya. Kita dapat menarik kesimpulan bahwa jika sudah adapersamman dalam berbagai segi, ada persamaan pula dalam bidang yang lain.

Contoh:

Kita banyak tertarik dengan planet Mars, karena banyak persamaannya dengan bumi kita. Mars dsan Bumi menjadi anggota tata surya yang sama. Mars mempunyai atmosfer seperti bumi. Temperaturnya hampir sama dengan temperatur Bumi. Unsur air dan oksigennya juga ada juga. Caranya beredar mengelilingi matahari meyebabkan pula timbulnya musim seperti di Bumi. Jika di bumi ada makhluk hidup, tidakkah mungkin ada makhluk hidup di planet Mars.

C. HUBUNGAN SEBAB AKIBAT

Hubungan sebab akibat dimulai dari beberapa fakta yang kita ketahui. Dengan m,enghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lain, dapatlah kita sampai kepada kesimpulan yang menjadi sebab dari fakta itu atau dapat juga kita sampai kepada akibat fakta itu.

Contoh penalaran hubungan sebab akibat:

Belajar menurut pandangantradisional adalah usaha untuk memperoleh sejumlh ilmu pengetahuan. “Pengetahuan” mendapat tekanan yang penting, oleh sebab pengetahuan memegang peranan utama dalam kehidupan manusia. Pengetahuan adalah kekuasaan. Siapa yang memiliki pengetahuan, ia mendapat kekuasaan.

Contoh penalaran hubungan akibat sebab:

Dewasa ini kenakalan remaja sudah menjurus ke tingkat kriminal. Remaja tidak hanya terlibat dalam perkelahian-perkelahian biasa, tetapi sudah berani menggunakan senjata tajam. Remaja yang telah kecanduan obat-obat terlarang tidak segan-segan merampok bahkan membunuh. Hal ini selain disebabkan kurangnya oerhatian dari orang tua dan pengaruh masyarakat, pengaruh televisi dan film cukup besar.

3. penalaran induktif adalah proses penarikan kesimpulan dari kasus-kasus yang bersifat individual nyata    menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Inilah alasan eratnya kaitan antara logika induktif dengan istilah    generalisasi. Contoh gampang penalaran induktif ini misalnya:

  Harimau berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan. Babi berdaun telinga berkembang biak dengan   melahirkan.Ikan Paus berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan.
  Kesimpulan: Semua hewan yang berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan.

Sumber :
Judul Buku : Bahasa Indonesia Untuk Mahasiswa
Penulis : Tim FS Undip
Kota diterbitkan : Semarang
Penerbit : Universitas Diponegoro
 
Tahun Penerbitan : 2007
Judul Buku : Ayo Belajar Berbahasa Indonesia
Penulis : Muhammad Darisman S.pd. dkk
Kota diterbitkan : Bogor
Penerbit : Yudhistira
 

JAKARTA, KOMPAS.com — Dari manifes penumpang dari maskapai Lion Air, Mandala Air, dan Indonesia Air Asia, tidak ditemukan adanya penumpang bernama Gayus Tambunan pada rentang waktu Kamis (4/11/2010) hingga Sabtu (6/11/2010).

       Demikian disampaikan oleh Direktur Umum Lion Air Edward Sirait, Head of Corporate Communication Mandala Nurmaria Sarosa, dan Corporate Communication Manager Indonesia AirAsia Audrey Progastama, ketika dihubungi secara terpisah pada Senin (15/11/2010) dan Selasa (16/11/2010).

  "Setelah kami cek, tidak ada nama Gayus dalam manifes kami," kata Nurmaria, Selasa. Mandala Air merupakan salah satu maskapai swasta yang berangkat dari Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, menuju Denpasar, Bali.
      Jawaban paling cepat datang dari manajemen Indonesia Air Asia, yang memang salah satu maskapai swasta dengan penetrasi tiket elektronik terbaik di Asia. "Tidak ditemukan GT dalam daftar manifes kami," ujar Audrey, yang kini sedang berada di Australia.

    Meski Lion Air juga tidak menemukan nama Gayus Tambunan dalam manifesnya, tetapi Direktur Umum Edward Sirait mengatakan, "Mungkin saja orang seperti Gayus juga menyamar saat menuju Bali."
   Sayangnya, belum ada jawaban dari maskapai nasional Garuda Indonesia mengenai nama Gayus dalam manifes mereka, meski Kompas telah meminta konfirmasi sejak tiga hari lalu. Manajemen Garuda selalu mengatakan, nama Gayus sedang dicari.
MEDAN (SINDO) – PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero mengancam tidak akan mengerjakan pembangunan PLTA Asahan III apabila Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Utara (Sumut) tidak menerbitkan izin prinsip.
Direktur Utama PLN Dahlan Iskan mengatakan, pihaknya bisa saja tidak mengerjakan pembangunan PLTA Asahan III sehingga warga Sumut harus siap mengalami krisis listrik lagi.“Seandainya tidak diberi juga tak apa-apa asal masyarakat Sumut siap mengalami pemadaman lagi,” katanya kepada wartawan di VIP Room Bandara Polonia Medan kemarin.

Kedatangan Dahlan ke Sumut untuk mendatangi PLTA Asahan III bersama Direktur Bisnis dan Manajemen Risiko Murtaqi Syamsuddin,Direktur Energi Primer Nur Pamudji, dan Direktur Operasi Indonesia Timur Vickner Sinaga. Dahlan mengatakan, pihaknya telah mengajukan permohonan izin prinsip ke Pemprov Sumut sejak 2004.Namun, hingga 2007 gubernur tidak juga mengeluarkan izin.

Kemudian pengajuan permohonan berhenti karena ada proyek Mega Mandiri. Pada September tahun yang sama,PLN kembali meminta kesediaan Gubernur Sumut untuk mengeluarkan izin.Permintaan tidak hanya melalui surat,tapi juga langsung ketika Dahlan bertemu Gubernur Sumut pada berbagai kesempatan.

“Kalau dihitung, sudah lima kali ketemu Syamsul (Gubernur Sumut Syamsul Arifin),terakhir di Tampak Siring Bali. Ketika ketemu, Syamsul bilang gampang untuk mengeluarkan izin,tapi ternyata sampai sekarang tidak keluar juga,”ungkapnya. Menurutnya, sulitnya Syamsul mengeluarkan izin karena khawatir PLTA Asahan III akan jatuh ke pihak swasta.Padahal, kekhawatiran itu berlebihan karena mengalihkan segala sesuatu milik pemerintah ke swasta tidak mudah.

“Mengalihkan mobil rongsokan saja repot, apalagi pembangkit,”ujarnya. Apabila pembangunan PLTA Asahan III yang berkapasitas 2x87 MW tidak terlaksana,warga Sumut akan mengalami krisis listrik lagi. Pembangunan PLTA ini direncanakan untuk mengatasi kekurangan energi listrik hingga akhirnya pada 2013 Sumut tidak lagi mengalami pemadaman.

Hingga saat ini PLN telah menghabiskan dana sebesar USD320 juta.Untuk desain dan uji kelayakan, perusahaan pelat merah ini telah mengeluarkan biaya sebesar Rp100 miliar. PLN sebelumnya diberitakan telah mendapat pinjaman lunak dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) sebesar USD420 juta dengan jangka waktu 40 tahun dan bunga 0,7% per tahun sehingga tidak perlu mencari dana lagi.

Selain itu, PLN juga sudah melakukan segala persiapan baik teknis maupun administrasi, termasuk melakukan berbagai tender pengadaan barang dan jasa yang dibutuhkan. Namun, dana itu belum bisa dimanfaatkan seluruhnya karena legalisasi izin lokasi PLTA Asahan III ini belum juga diterbitkan.Tanpa itu tender belum bisa dilaksanakan. “Apabila seluruh proses itu selesai, pihaknya bisa tender dan langsung merealisasikan pembangunannya.

Semua persiapan mulai survei, desain engineering telah dilakukan termasuk dana,”ujarnya. Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Pemprov Sumut Eddy Syofian menegaskan, Gubernur Sumut bukan tidak mau mengeluarkan izin prinsip,melainkan masih meminta jaminan dari PLN secara tertulis jika nanti mengerjakan proyek Asahan III tidak memberikannya ke PT Inalum.

“Mesti ada jaminan tertulis dari PLN. Jika nanti dikerjakan PLN, apakah energi listrik tidak diserahkan ke Inalum. Kita inginkan, pasokan listrik diberikan ke masyarakat Sumut sebab Sumut masih mengalami krisis listrik,” tegas Eddy. Di sisi lain, PLN mengklaim telah mengantongi izin analisa mengenai dampak lingkungan (amdal) pembangunan PLTA Asahan III berkapasitas 2x87 MW serta penugasan dari pemerintah pusat. (jelia amelida/m syahyan rw/maya sofia)
       Berdasarkan dari penggunaan EYD maupun analisa diksi, kedua media cetak online diatas mneggunakan kalimat yang salah. contohnya pada analisa diksi yang masing -masing
     Dari “Kompas.com” menuliskan judul " Gayus Tidak Naik Lion, Mandala, dan AirAsia” seharusnya kalimat yang benar adalah " Gayus Tidak Naik Maskapai Penerbangan seperti Lion, Mandala, dan AirAsia". karena jika hanya ditulis Gayus Tidak Naik Lion, Mandala, dan AirAsia, mungkin sebagian orang berfikir Lion di artikan kebahasa Indonesia saja SINGA, berarti Gayus Tidak Naik SINGA. sama seperti pada judul dari "Harian Seputar Indonesia" dengan judul " PLN Ancam Tolak Asahan III " seharusnya "Direktur PT. PLN Ancam Tolak Asahan III " kan tidak mungkin Perusahan bisa menolak begitu saja ( News : dari http://nasional.kompas.com , http://www.seputar-indonesia.com)


ASPEK PENALARAN DALAM KARANGAN

Latar belakang

Menulis merupakan proses bernalar. Untuk menulis mengenai suatu topic kita harus berfikir, menghubung-hubungkan berbagai fakta, membandingkan dan sebagainya.
Setiap saat selama hidup kita, terutama dalam keadaan jaga, kita selalu berfikir merupakan kegiatan mental. Pada waktu kita berfikir, dalam benak kita timbul serangkaian gambar sesuatu yang tidak hadir secara nyata. Kegiatan ini mungkin tidak terkendali, terjadi dengan sendirinya, tanpa kesadaran, misalnya melamun. Kegiatan yang lebih tinggi dilakukan secara sadar, tersusun dalam urutan yang saling berhubungan, dan bertujuan untuk sampai kepada suatu kesimpulan. Jenis kegiatan berfikir yang terakhir inilah yang disebut kegiatan bernalar.
Badasarkan uraian diatas, dapatlah dicatat bahwa proses bernalar atau singkatnya penalaran merupakan proses berfikir yang sistematik untuk memperoleh kesimpulan berupa pengetahuan. Kegiatan penalaran mungkin bersifat ilmiah atau tidak ilmiah. Dari prosesnya, penalaran itu dibedakan sebagai penalaran induktif dan deduktif

ISI

Penalaran induktif adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan berupa prinsip atau sikap yang berlaku umum bedasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus, prosesnya disebut induksi
Penalaran induktif mungkin merupakan generalisasi, analog, atau hubungan sebab-akibat. Generalisasi adalah proses penalaran bedasarkan pengamatan sejumlah gejala dengan sifat-sifat tertentu mengenai semua atau sebagian dari gejala serupa itu. Didalam analog kesimpulan tentang kebenaran suatu gejala ditarik bedasarkan pengamatan terhadap sejumlah gejala khusus yang bersamaan. Hubungan sebab-akibat ialah hubungan ketergantungan antara gejala-gejala yang mengikuti pola sebab-akibat, akibat-sebab, dan akibat-akibat.

Penalaran deduktif
Deduktif dimulai dengan premis yaitu pernyataan dasar untuk menarik kesimpulan. Kesimpulannya merupakan implikasi pernyataan dasar itu. Artinya apa yang dikemukakan didalamya kesimpulan secara tersirat telah ada dalam pernyataan itu.
Jadi sebenarnya proses deduksi tidak menghasilkan suatu pengetahuan yang baru, melainkan pernyataan kesimpulan yang konsisten dengan pernyataan dasarnya. Sebagai contoh kesimpulan-kesimpulan berikut sebenarnya adalah implikasi permintaan “ Bujur sangkar adalah segi empat sama sisi”
1. Suatu segi empat sama sisi-sisi horisontalnya tidak sama panjang dengan sisi tegak lurusnya bukan bujur sangkar
2. Semua bujur sangkar harus merupakan segi empat, tetapi tidak semua segi empat merupakan bujur sangkar
3. Jumlah sudut dalam bujur sangkar ialah 360 derajat
4. Jika sebuah bujur sangkar dibagi 2 dengan garis diagonal akan terjadi dua segi tiga sama kaki
5. Segitiga yang terbentuk itu merupakan segitiga sama sisi
6. Setiap yang terbentuk itu merupakan segitiga siku-siku
7. Setiap segitiga itu mempunyai dua sudut lancip yang besarnya 45 derajat
8. Jumlah sudut dalam segi tiga itu 180 derajat
Setiap pernyataan yang tercantum itu merupakan cara lain untuk mengungkapkan pernyataan diatasnya dengan konsisten. Pernyataan (2) merupakan mengungkapkan pernyataan diatas secara konsisten. Penrnyataan (2) merupakan implikasi pernyataan (1), pernyataan (3) merupakan implikasi pernyataan (2), dan seterusnya. Disinilah letak pembedaannya dengan penalaran induktif. Dalam penalaran induktif kesimpulan bukan merupakan implikasi data yang diamati artinya, kesimpulan mengenai fakta-fakta yang diamati tidak tersirat didalam fakta itu sendiri.
Dalam praktek, proses penulisan tidak dapat dipisahkan dari proses pemikiran/penalaran . tulisan adalah perwujudan hasil pemikiran/penalaran. Tulisan yang kacau mencerminkan pemikiran kacau. Karena itu, latihan keterampilan menulis pada hakikatnya adalah pembiasaan berpikir/bernalar secara tertib dalam bahasa yang tertib pula.

Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tulisan sebagai hasil proses bernalar mungkin merupakan hasil deduksi,induksi, atau gabungan keduanya. Dengan demikian suatu paparan dapat bersifat deduktif,induktif atau gabungan keduanya. Dengan demikian suatu paparan dapat bersifat deduktif,induktif atau gabungan antara kedua sifat tersebut. Suatu tulisan yang bersifat deduktif dibuka dengan suatu pernyataan umum berupa kaidah, peraturan, teori, atau pernyataan umum lainnya. Selanjutnya pernyataan itu akan dikembangkan dengan pernyataan-pernyataan yang bersifat khusus. Sebaliknya, suatu tulisan yang bersifat induktif dimulai dengan rincian-rincian dan diakhiri dengan suatu kesimpulan atau generalisasi. Gabungan antara keduanya dimulai dengan pernyataan umum yang diikuti dengan rincian-rincian dan akhirnya ditutup denga pengulangan pernyataan umu diatas.

Sumber :
Judul Buku : Bahasa Indonesia Untuk Mahasiswa
Penulis : Tim FS Undip
Kota diterbitkan : Semarang
Penerbit : Universitas Diponegoro
 
Tahun Penerbitan : 2007
Judul Buku : Ayo Belajar Berbahasa Indonesia
Penulis : Muhammad Darisman S.pd. dkk
Kota diterbitkan : Bogor
Penerbit : Yudhistira
 

SAMPLE

SAMPLE

My studentsite

About this blog

My friends

Powered by Blogger.

Friends

Your Comments


ShoutMix chat widget